Sebagian dari kaum penyebar syubhat telah
menyebut perayaan Maulidur Rasul saaw sebagai perbuatan bid’ah dholalah.
Banyak sudah argumen yang mereka kemukakan. Namun semua argumen itu
tidaklah berdasar pada dalil-dalil yang dapat dibenarkan kecuali oleh
orang-orang yang mudah ditipu. Pada tulisan kali ini, kami mencoba
mengemukakan beberapa argumen untuk menunjukkan betapa perayaan Maulidur
Rasul itu adalah suatu hal yang mulia.
Katakanlah: "Dengan
kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira.
Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka
kumpulkan". (Yunus: 85)
Merayakan Maulid itu agak berbeda dengan
merayakan Natal. Umat Kristiani merayakan Natal adalah dalam rangka
menyembah dan mengkultuskan Yesus yang mereka yakini lahir pada tanggal
25 Desember. Dan mereka menjadikan tanggal 25 Desember itu sebagai hari
khusus dalam merayakan kelahiran Yesus. Walau pun sebagian sarjana
Alkitab telah menyatakan bahwa Yesus tidaklah lahir pada tanggal 25
Desember di musim dingin, melainkan pada bulan Ilul di musim semi atau
musim kering. Bahkan mereka menjelaskan bahwa tanggal 25 Desember itu
sebenarnya adalah perayaan orang Romawi untuk merayakan hari lahir dari
dewa Sol Invictus.
Merayakan Maulid juga agak berbeda dengan
merayakan Asyura dimana kita berpuasa sunnah pada tanggal 10 Muharram
dalam rangka bersyukur dan taqarrub kepada Allah.
Merayakan
Maulidur Rasul tidak hanya terpaku pada hari lahirnya Sang Cahaya (QS.
Al-Maidah: 15). Maulidur Rasul dilakukan juga dalam rangka mengenang
riwayat hidup Sang Juru Syafaat. Adalah benar bahwa Rasulullah saaw
lahir pada hari Senin tanggal 12 Rabiul Awwal di tahun Gajah. Namun
tidak seperti perayaan lain yang terpaku pada satu hari tertentu,
perayaan Maulidur Rasul saaw dapat dilakukan setiap hari. Tidak hanya
pada tanggal 12 Rabiul Awwal, tidak hanya di bulan Rabiul Awwal, tidak
hanya di hari Senin. Bahkan setiap hari di sepanjang tahun, kita dapat
merayakan Maulidur Rasul. Karena sudah semestinyalah bagi kita ummat
Islam untuk bergembira setiap saat atas karunia Allah berupa lahirnya
sang pembawa Syari’atul Muthohharoh. Maka perayaan Maulidur Rasul ini
tidak bisa disamakan dengan perayaan Natal atau pun Milad Partai yang
terpaku pada satu hari tertentu.
KEISTIMEWAAN 12 RABIUL AWAL
Walau
perayaan Maulid tidak terpaku pada tanggal 12 Rabiul Awwal, namun
tanggal 12 Rabiul Awwal tetaplah hari yang istimewa bagi para pecinta
Rasul saaw dan Shahabat beliau radhiyallahu ‘anhum. Karena pada tanggal
12 Rabiul Awwal itulah Sang Kekasih lahir ke dunia ini. Itulah tonggak
sejarah baru dalam kehidupan manusia menuju Al-Haqq. Pada hari itu telah
tumbang segala simbol kemusyrikan. Pada hari itu, api biara Majusi
telah dipadamkan, jatuhlah mahkota Kisra Persia, dan Makkah diterangi
cahaya gemilang.
Hari Senin tanggal 12 Rabiul Awwal juga
merupakan hari tibanya Rasulullah di Madinah. Pada hari itu, datanglah
Sang Bulan Purnama dari celah-celah bukit. Maka bersyukurlah kita atas
hijrahnya Rasulullah saaw dan atas selamatnya beliau tiba di Madinah.
Tibanya Rasulullah di Madinah adalah fase kebangkitan selanjutnya dari
da’wah ilallah. Itulah sebabnya kaum Anshor menyambut kedatangan beliau
sambil berdiri dan menabuh rebana. Mereka melantunkan syair yang begitu
indah, "Thola’al badru ‘alayna min tsaniyatil wada’. Wajabasy syukru
‘alayna ma da’a lillahi da’."
Pada hari Senin tanggal 12 Rabiul
Awwal pula Rasulullah saaw wafat. Pada hari itu, ummat Islam mengalami
kegoncangan yang dahsyat. Lalu muncullah Ad-Da’i ilallah, Sayyidina Abu
Bakar, yang membangkitkan kembali semangat kaum Muslimin dengan
pidatonya yang terkenal. Pada hari itulah peristiwa agung lainnya
terjadi, yaitu kebangkitan semangat Muslimin setelah diterpa ujian
besar.
Maka wajarlah jika tanggal 12 Rabiul Awwal dijadikan salah
satu hari istimewa bagi kaum Muslimin. Namun untuk merayakan Maulidur
Rasul sebagai rasa gembira kita atas karunia besar tersebut, kita tidak
mesti hanya merayakannya pada tanggal 12 Rabiul Awwal. Bahkan sepatutnya
kita bergembira dan merayakan Maulidur Rasul pada setiap hari di
sepanjang tahun.
RASUL PUN MERAYAKAN MAULID
Imam Al
Hafidh Jalaluddin Assuyuthi rahimahullah berkata : Telah jelas padaku
bahwa telah muncul riwayat Baihaqi bahwa Rasul saw berakikah untuk
dirinya setelah beliau saw menjadi Nabi (Ahaditsulmukhtarah hadits
no.1832 dengan sanad shahih dan Sunan Imam Baihaqi Alkubra Juz 9
hal.300), dan telah diriwayatkan bahwa telah berakikah untuknya kakeknya
Abdulmuththalib saat usia beliau saw 7 tahun, dan akikah tak mungkin
diperbuat dua kali, maka jelaslah bahwa akikah beliau saw yang kedua
atas dirinya adalah sebagai tanda syukur beliau saw kepada Allah swt
yang telah membangkitkan beliau saw sebagai Rahmatan lil'aalamiin dan
membawa Syariah untuk ummatnya, maka sebaiknya bagi kita juga untuk
menunjukkan tasyakkuran dengan Maulid beliau saw dengan mengumpulkan
teman-teman dan saudara-saudara, menjamu dengan makanan-makanan dan yang
serupa itu untuk mendekatkan diri kepada Allah dan kebahagiaan. Bahkan
Imam Assuyuthiy mengarang sebuah buku khusus mengenai perayaan maulid
dengan nama : "Husnul-Maqashid fii 'Amalil-Maulid".
Rasul pun
pernah ditanya tentang puasa di hari Senin. Maka beliau menjawab bahwa
pada hari itulah beliau saaw dilahirkan. Maka dengan alasan itu pula
kita berpuasa di hari Senin. Dan dengan alasan itu pula dibolehkan bagi
kita untuk beribadah kepada Allah dalam rangka bersyukur atas lahirnya
Rasulullah saaw. Maka boleh bagi kita untuk membesarkan hari lahir
beliau saaw dengan ibadah apa saja, tidak hanya dengan puasa, tetapi
dengan ibadah yang lainnya pun boleh.
SAHABAT PUN BERMAULID
Dalam
kitab-kitab maulid atau rawi, kita dapat menjumpai kalimat-kalimat
pujian atas Rasulullah saaw yang sebenarnya dikutip dari Al-Qur`an,
hadits, atau pun perkataan para shahabat.
Paman Nabi, Sayyidina
Abbas bin Abdul Muthalib pernah berkata: Wahai Nabi, engkau adalah
cahaya Allah SWT yang diletakkan pada sulbi Nabi Adam as, sehingga
ketika Nabi Adam as turun ke muka bumi ini, engkau ikut turun ke muka
bumi bersama Nabi Adam as. Lalu nabi Adam as melahirkan anaknya, dan
anaknya melahirkan keturunan, sehingga engkau bersama Nabi Nuh as ketika
banjir besar melanda kaumnya, sehingga engkau berada di sulbi para
laki-laki mulya yang menikahi wanita-wanita suci, sehingga engkau
dilahirkan oleh ibumu dengan cahaya yang terang benderang, dan sungguh
hingga kini kami masih dalam naungan cahayamu.
Kalimat-kalimat
pujian di atas itu akan kita dapati di dalam kitab-kitab maulid seperti
dalam kitab maulid Ad-Diba’i. Dalam kitab itu dijelaskan bahwa Sayyidina
Abdullah bin Abbas ra meriwayatkan bahwa Nabi saaw bersabda:
Sesungguhnya ada seorang Quraisy yang saat itu masih berwujud nur di
hadapan Allah 2000 tahun sebelum penciptaan Nabi Adam as. Nur itu selalu
bertasbih kepada Allah. Dan bersamaan dengan tasbihnya itu bertasbih
pula para malaikat mengikutinya. Ketika Allah akan menciptakan Adam, nur
itu pun diletakkan pada tanah liat asal kejadian Adam. Lalu Allah
menurunkan nur itu ke muka bumi melalui punggung Nabi Adam. Dan Allah
membawaku ke dalam kapal dalam tulang sulbi Nabi Nuh as, dan menjadikan
aku dalam tulang sulbi Nabi Ibrahim Al-Khalil, ketika ia dilemparkan ke
dalam api. Tak henti-hentinya Allah memindahkan aku dari rangkaian
tulang sulbi yang suci, kepada rahim yang suci dan megah. Hingga
akhirnya Allah melahirkan aku melalui kedua orangtuaku yang sama sekali
tidak pernah berbuat serong.
(Jika kita melihat silsilah Yesus dalam
Alkitab, tentu kita akan tercengang oleh moyang Yesus yang pernah
berbuat serong, yaitu Yehuda dan Tamar.)
Hadits-hadits ini
menunjukkan bahwa para shahabat pun terkadang berkumpul bersama Nabi
saaw, dan mereka membacakan syair-syair pujian di hadapan Nabi saaw dan
beliau saaw tidak melarang mereka, bahkan Rasulullah saaw mendoakan
mereka sebagai tanda keridhoan beliau saaw atas perkataan mereka yang
sesungguhnya tidak menyimpang dari Syari’atul Muthohharoh.
Bukan
Muhammad namanya jika tidak boleh dipuji. Beliau dinamakan Muhammad,
karena beliau memang pantas dipuji. Ketika kita memuji beliau saaw,
sesungguhnya kita telah memuji Pencipta beliau. Jika Anda telah memuji
istri dan anak Anda dengan ‘cahaya mata’, mengapa Anda enggan memuji
Muhammad Rasulullah? Jika Anda telah memuji kecantikan isteri Anda,
mengapa Anda tidak memuji keluhuran Muhammad Rasulullah saaw? Jika Anda
mengagungkan Ka’bah sebagai qiblat Anda, mengapa Anda tidak mengagungkan
Muhammad Rasulullah? Memuji dan mengagungkan Rasulullah bukanlah suatu
bentuk penyembahan kepada beliau, sebagaimana ketika kita shalat
menghadap Ka’bah bukanlah suatu bentuk penyembahan kepada Ka’bah.
Jika
Anda beri’tiqad bahwa memuji dan mengagungkan Rasulullah itu syirik,
maka jangan lagi Anda shalat menghadap Ka’bah, toh kemana pun Anda
menghadap, disitu Anda dapati Wajah Allah. Dan jangan lagi Anda mencium
Hajar Aswad. Jangan lagi Anda bersa’i antara Shofa dan Marwah. Jangan
lagi Anda berthawaf mengelilingi Ka’bah. Karena berdasarkan i’tiqad
tersebut, semua itu adalah merupakan penyembahan kepada Ka’bah, Hajar
Aswad, Shofa, dan Marwah.
Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah
sebahagian dari syi`ar Allah. Maka barang siapa yang beribadah haji ke
Baitullah atau ber-`umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sai
antara keduanya. Dan barang siapa yang mengerjakan suatu kebajikan
dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan
lagi Maha Mengetahui. [QS. Al-Baqarah: 158]
Demikianlah (perintah
Allah). Dan barang siapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi
Allah maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya. [QS. Al-Hajj:
30]
Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan
syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati.
[QS. Al-Hajj: 32]
Adakah sesuatu yang lebih terhormat dari
Muhammad Rasulullah saaw di sisi Allah? Siapakah yang namanya
berdampingan dengan Nama Allah di pintu surga? Siapakah nama yang
disebut Nabi Adam as untuk bertawassul ketika beliau melakukan suatu
kesalahan? Tidak layakkah Muhammad Rasulullah saaw untuk diagungkan oleh
orang-orang yang bertaqwa? Tidak ada makhluq yang lebih layak untuk
diagungkan daripada Muhammad Rasulullah saaw. Kerena beliau saaw adalah
makhluq paling terhormat di sisi Allah.
Dari Umar ra. Ia berkata:
Rasulullah SAAW bersabda, “Tatkala Adam melakukan kesalahan, dia
berkata: “Wahai Rabbku, aku memohon kepada-Mu dengan haq Muhammad akan
dosa-dosaku, agar Engkau mengampuniku.” Lalu Allah berfirman: “Wahai
Adam, bagaimana kamu mengenal Muhammad sedang Aku belum menciptakannya
(sebagai manusia) ?” Adam menjawab: “Wahai Rabbku, tatkala Engkau
menciptakanku dengan Tangan-Mu dan meniupkan ruh-Mu ke dalam diriku,
maka Engkau Mengangkat kepalaku, lalu aku melihat di atas kaki-kaki arsy
tertulis ‘Laa Ilaaha illallaah Muhammadur Rasuulullaah’ sehingga aku
tahu bahwa Engkau tidak menambahkan ke dalam Nama-Mu kecuali makhluq
yang paling Engkau cintai.” Lalu Allah Berfirman: “Benar engkau wahai
Adam, sesungguhnya Muhammad adalah makhluq yang paling Aku cintai,
berdoalah kepadaku dengan haq dia, maka sungguh Aku Mengampunimu.
Sekiranya tidak ada Muhammad, maka Aku tidak menciptakanmu.” [HR.
Al-Hakim dalam Al-Mustadrak juz 2 halaman 615, dan beliau mengatakan
shahih. Juga Al-Baihaqi dalam Dalailun Nubuwwah. Ibnu Taimiyah
mengutipnya dalam kitab Al-Fatwa juz 2 halaman 150, dan beliau
menggunakannya sebagai tafsir/penjelasan bagi hadits-hadits yang shahih]
Pembacaan
rawi dalam perayaan-perayaan maulid bukanlah suatu perkara bid’ah,
karena sebenarnya hal itu juga telah dilakukan para shahabat di hadapan
Rasulullah saaw. Begitu juga dengan berdiri ketika "Asyroqol" atau pun
"Thola’al", itu bukanlah suatu bid’ah. Karena kita hanya meniru-niru
shahabat. Dengan demikian, kita bisa merasakan apa yang dirasakan
shahabat pada saat itu, yaitu kegembiraan yang hanya bisa dirasakan dan
sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata. Dengan meniru tindakan para
shahabat tersebut, kita merasa bahwa jiwa kita menyatu dengan jiwa
mereka, atau jiwa kita seakan kembali ke masa ketika Rasulullah saaw
tiba di Madinatun Nabi pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal. Pembacaan
Maulid/Rawi dan segala kaifiatnya itu bagaikan pertunjukkan drama dimana
kita berperan sebagai para shahabat yang sedang menyambut kekasih
mereka saaw; bagaikan napak tilas kehidupan para shahabat ketika mereka
hidup berdampingan dengan sang kekasih saaw. Kita memang tidak hidup
sezaman dengan Rasulullah saaw, tetapi kita dapat merasakan bahwa
Rasulullah saaw selalu mendampingi kehidupan kita. Spirit seperti inilah
yang dicoba untuk dibangkitkan oleh ulama, yaitu kehidupan ummat yang
selalu merasakan kehadiran Rasulullah saaw. Spirit yang timbul dari
pancaran jiwa Muhammad Rasulullah saaw. Rasa seperti ini tidak dapat
dipahami, kecuali oleh mereka yang selalu merindukan pertemuan dengan
kekasih mereka, Muhammad Rasulullah saaw.
PARA HAFIZH PUN BERMAULID
Hafizh
adalah sebutan bagi orang yang telah menghafal setidaknya seratus ribu
hadits berikut sanadnya. Dan tentunya mereka telah lebih dahulu
menghafal Al-Qur`an. Kitab-kitab maulid yang dibaca dalam perayaan
maulid pada umumnya adalah kitab-kitab yang dikarang oleh para hafizh.
Tentunya mereka menyusun kitab maulid berdasarkan ilmu mereka yang
bagaikan samudera bila dibandingkan dengan ilmu kita yang hanya setetes
saja. Rawi yang mereka tuliskan adalah berdasarkan hadits-hadits shahih
yang mereka ketahui sanadnya. Maka tidak sepantasnya jika kita menyebut
pembacaan kitab maulid/rawi itu sebagai perkara bid’ah DHALALAH.
Diantara ulama ahli sunnah wal jama’ah yang menyetujui perayaan maulid adalah:
1. Imam Al Hafizh Ibn Hajar Al Atsqalaniy rahimahullah.
2. Imam Al Hafizh Jalaluddin Assuyuthi rahimahullah.
3. Imam Al Hafizh Abu Syaamah rahimahullah.
4. Imamul Qurra' Al-Hafizh Syamsuddin Aljazriy.
5.
Imam Al Hafizh Syamsuddin bin Nashiruddin Addimasyqiy pengarang
beberapa kitab maulid : Jaami' al astar fi maulid nabi al mukhtar 3
jilid, Al lafaz arra'iq fi maulid khair al khalaiq, Maurud asshadi fi
maulid al hadi.
6. Imam Al Hafizh Assakhawiy.
7. Imam Al Hafizh Ibn Abidin rahimahullah.
8. Imam Al Hafidh Ibnul Jauzi rahimahullah pengarangan kitab maulid "Al Aruus"
9. Imam Al Hafizh Al Qasthalaniy rahimahullah.
10.
Imam Al Hafizh Al Muhaddis Abul-Khattab Umar bin Ali bin Muhammad yang
terkenal dengan Ibn Dihyah, pengarangan kitab maulid "Attanwir fi maulid
basyir an nadzir".
11. Imam al Hafizh Ibn Katsir pengarang kitab maulid yang dikenal dengan kitab maulid ibn Katsir.
12. Imam Al Hafizh Al 'Iraqy pengarang kitab maulid "Maurid al hana fi maulid assana"
13. Imam Assyakhawiy pengarang kitab maulid Al Fajr al Ulwi fi maulid an Nabawi.
14. Al Allamah al Faqih Ali Zainal Abidin As Syamhudi pengarang kitab maulid Al Mawarid al Haniah fi maulid Khairil Bariyyah
17.
Al Imam Hafizh Wajihuddin Abdurrahman bin Ali bin Muhammad As Syaibaniy
yang terkenal dengan ibn Diba' pengarang kitab maulid Ad-Diba'i
18. Imam ibn Hajar al Haitsami pengarang kitab maulid Itmam an-Ni'mah alal Alam bi Maulid Sayid Waladu Adam.
19. Imam Ibrahim Baajuri.
20. Al Allamah Ali Al Qari' pengarang kitab maulid Maurud ar-Rowi fi Maulid Nabawi.
21. Al Allamah al Muhaddits Ja'far bin Hasan Al Barzanji pengarang kitab maulid yang terkenal dengan kitab maulid Barzanji.
23. Al Imam Al Muhaddis Muhammad bin Ja’far al Kattani dengan maulid Al Yaman wal Is'ad bi Maulid Khair al-Ibad.
Mereka
semua adalah ulama-ulama ahli sunnah wal jama’ah yang dapat dipercaya
keilmuwannya. Mereka adalah pemelihara Al-Qur`an dan Hadits-Hadits
Rasulullah saaw. Sedangkan mereka yang menentang perayaan maulid, sudah
berapa hadits yang mereka hafal? Dari hadits-hadits yang mereka hafal,
berapa hadits yang sanadnya bersambung dari guru mereka hingga kepada
Rasulullah saaw? Mungkin tidak satu pun hadits yang mereka hafal itu
memiliki sanad yang bersambung dari guru mereka hingga kepada Rasulullah
saaw. Paling mereka menghafal hadits itu dari Kitab-Kitab Hadits yang
beredar sekarang, dimana mereka hanya tahu bahwa hadits itu mereka dapat
dari Imamul Bukhori dari Shahabat dari Rasulullah saaw. Sedangkan para
ulama yang menyetujui perayaan maulid ini, mereka menghafal sekian ratus
ribu hadits berikut sanadnya, dimana mereka mendapat hadits-hadits itu
dari guru mereka dari gurunya dari gurunya, terus begitu hingga dari
tabi’it tabi’in dari tabi’in dari shahabat dari Rasulullah saaw. Lalu
pendapat siapakah yang lebih pantas diikuti? Pendapat para ulama yang
luas ilmunya, ataukah pendapat para penebar syubhat yang dangkal ilmunya
dan picik cara berfikirnya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar