suara wanita menurut jumhur (sebagian
besar) para ulama bukan merupakan aurat, terkecuali suara wanita yg
dibuat buat untuk membangkitkan birahi, berdalilkan dengan kunjungan
para sahabat yg berdatangan pada Ummulmukminin Aisyahh ra dan istri
istri rasul saw lainnya, mereka bicara langsung dengan para
Ummulmukminin, bertanya tentang ini dan itu, dan Ummulmukminin
menjawabnya dari belakang hijab (tidak jumpa namun saling berbicara).
namun
adapula para ulama kita yg membatasinya bahwa itu hanya untuk
memperdalam ilmu syariah saja, lebih dari itu tak diperkenankan, karena
tak mungkin bertanya beberapa hal tentang pribadi rasul saw kecuali yg
paling tahu adalah istri istri beliau saw, dan ini darurat, demikian
menurut sebagian mereka.
namun Guru Mulia kita ALhabib Umar bin
hafidh menjelaskan bahwa hal itu bukan aurat, namun sepantasnya wanita
mempertegas bicaranya, dan berdosa jika ia memperlembut suaranya untuk
menarik perhatian pria.
Syamsi Syumus
Rabu, 21 Maret 2012
Selasa, 20 Maret 2012
Taqlid
taqlid adalah mengikuti perbuatan
seseorang / guru tanpa mengetahui dalilnya dan pada dasarnya, taqlid pada ulama
yg shalih adalah lebih kuat dari dalil yg kita fahami, karena bisa saja kita
berbuat dg batas pemahaman kita yg rendah, padahal guru itu lebih dalam dan
luas ilmunya yg belum kita ketahui dalilnya, namun kita tak mau mengikuti
perbuatan guru kita karena terjebak pemahaman : “belum kutemukan dalilnya.”
justru ini menjebak kita pada kejahilan kita tanpa bisa mencapai kesempurnaan amal, tentunya lebih baik beramal dg mengikuti/taqlid pada ulama yg mumpuni dalam syariah dan shalih, walau tak tahu dalilnya, karena kita tahu ia lebih alim dari kita, dan kita tahu dia shalih bukan penipu, dan kita tahu ia selalu berusaha berjalan dalam sunnah.
para sahabat pun bertaqlid pada Rasul saw tanpa menanyakan dalilnya, dan sebagian sahabat bertaqlid pada sahabat lain tanpa menanyakan dalilnya, ada yg sempat menanyakan dalilnya ada yg tidak, misalnya ucapan sahabat/tabiin : aku melihat ibn umar berbuat demikian, atau aku melihat Utsman bin Affan ra melakukannya demikian, ini semua taqlid, tanpa mereka menanyakan dalilnya,
taqlid semacam ini bukan taqlid buta, tapi hal yg lebih kuat dari dalil yg kita ketahui, karena yg dimaksud taqlid buta adalah ikut2an sembarang orang yg tak jelas ilmunya dan keshalihannya, seperti para wahabi yg bertaqlid kpd ibn abdul wahhab yg bertentangan dg jumhur (mayortias) seluruh madzhab, seluruh madzhab bertawassul namun ibn abdulwahhab menentangnya, seluruh madzhab memuliakan kuburan nabi dan shalihin namun ibn abdul wahhab menentangnya, maka mereka itulah yg taqlid buta, kita bertaqlid dg guru yg berjalan dalam sunnah.
justru ini menjebak kita pada kejahilan kita tanpa bisa mencapai kesempurnaan amal, tentunya lebih baik beramal dg mengikuti/taqlid pada ulama yg mumpuni dalam syariah dan shalih, walau tak tahu dalilnya, karena kita tahu ia lebih alim dari kita, dan kita tahu dia shalih bukan penipu, dan kita tahu ia selalu berusaha berjalan dalam sunnah.
para sahabat pun bertaqlid pada Rasul saw tanpa menanyakan dalilnya, dan sebagian sahabat bertaqlid pada sahabat lain tanpa menanyakan dalilnya, ada yg sempat menanyakan dalilnya ada yg tidak, misalnya ucapan sahabat/tabiin : aku melihat ibn umar berbuat demikian, atau aku melihat Utsman bin Affan ra melakukannya demikian, ini semua taqlid, tanpa mereka menanyakan dalilnya,
taqlid semacam ini bukan taqlid buta, tapi hal yg lebih kuat dari dalil yg kita ketahui, karena yg dimaksud taqlid buta adalah ikut2an sembarang orang yg tak jelas ilmunya dan keshalihannya, seperti para wahabi yg bertaqlid kpd ibn abdul wahhab yg bertentangan dg jumhur (mayortias) seluruh madzhab, seluruh madzhab bertawassul namun ibn abdulwahhab menentangnya, seluruh madzhab memuliakan kuburan nabi dan shalihin namun ibn abdul wahhab menentangnya, maka mereka itulah yg taqlid buta, kita bertaqlid dg guru yg berjalan dalam sunnah.
Sabtu, 17 Maret 2012
Biografi Al-Allamah Al-Arif Billah Al-Habib Zein bin Ibrahim bin Smith
Habib Zain
lahir di ibukota Jakarta pada tahun 1357 H/1936 M. Ayahnya Habib Ibrahim
adalah ulama besar di bumi Betawi kala itu, selain keluarga, lingkungan
tempat di mana mereka tinggal pun boleh dikatakan sangat religius.
Guru-gurunya ialah Habib Muhammad bin Salim bin Hafiz (Ayahanda Habib Umar), Habib Umar bin
Alwi al-Kaf, Al-Allamah Al-Sheikh Mahfuz bin Salim, Sheikh Salim Said
Bukayyir Bagistan, Habib Salim bin Alwi Al-Khird, Habib Ja’far bin Ahmad
Al-Aydrus, Habib Muhammad bin Abdullah Al-Haddar (mertuanya). Pada usia empat belas
tahun(1950), ayahnya memberangkatkan Habib Zain ke Hadramaut, tepatnya
kota Tarim.
Di
bumi awliya’ itu Habib Zain tinggal di rumah ayahnya yang telah lama
ditinggalkan. Menyadari mahalnya waktu untuk disia-siakan, Habib Zain
berguru kepada sejumlah ulama setempat, berpindah dari madrasah satu
kemadrasah lainnya, hingga pada akhirnya mengkhususkan belajar di ribath
Tarim. Dipesantren ini nampaknya Habib Zain merasa cocok dengan
keinginannya. Disana ia memperdalam ilmu agama, antara lain mengaji
kitab ringkasan (mukhtashar) dalam bidang fiqh kepada Habib Muhammad bin
Salim bin Hafidz, di bawah asuhan Habib Muhammad pula, Habib Zain
berhasil menghapalkan kitab fiqh karya Imam Ibn Ruslan, “Zubad”,
dan “Al-Irsyad” karya Asy-Syarraf Ibn Al-Muqri. Tak cukup disitu, Habib
Zain belajar kitab “Al-Minhaj” yang disusun oleh Habib Muhammad sendiri,
menghapal bait-bait (nazham) “Hadiyyah As-Shadiq” karya Habib Abdullah
bin Husain bin Thahir dan lainnya. Dalam penyampaiannya di Tarim beliau
sempat berguru kepada sejumlah ulama besar seperti Habib Umar bin Alwi
Al-Kaf, Syekh Salim Sa’id Bukhayyir Bagitsan, Habib Salim bin Alwi
Al-Khird, Syekh Fadhl binMuhammad Bafadhl, Habib Abdurrahman bin Hamid
As-Sirri, Habib Ja’far bin Ahmad Alaydrus, Habib Ibrahim bin Umar bin
Agil dan Habib Abubakar bin Abdullah Al-Atthas. Selain menimba ilmu
disana Habib Zain banyak mendatangi majlis para ulama demi mendapat
ijazah, semisal Habib Muhammad bin Hadi As-Saqqof, Habib Ahmad bin Musa
Al-Habsyi, Habib Alwi bin Abbas Al-Maliki, Habib Umar bin Ahmad bin
Smith, Habib Ahmad Masyhur bin Thaha Al-Haddad, Habib Abdul Qadir bin
Ahmad Assaqof dan Habib Muhammad bin Ahmad Assyatiri. Melihat begitu
banyaknya ulama yang didatangi, dapat disimpulkan, betapa besar semangat
Habib Zain dalam rangka merengkuh ilmu pengetahuan agama, apalagi
melihat lama waktu beliau tinggal disana, yaitu kurang lebih delapan
tahun. Kemudian salah seorang gurunya bernama Habib Muhammad bin Salim
bin Hafidz menyarankannya pindah kekota Baidhah, salah satu wilayah
pelosok bagian negeri Yaman, untuk mengajar di ribath sekaligus
berdakwah. Ini dilakukan menyusul permohonan mufti Baidhah, Habib
Muhammad bin Abdullah Al-Haddar. Dalam perjalanan kesana, Habib Zain
singgah dulu dikediaman seorang teman dekatnya di wilayah Aden, Habib
Salim bin Abdullah Assyatiri, yang saat itu menjadi khatib dan imam di
daerah Khaur Maksar, disana Habib Zain tinggal beberapa saat.
Selanjutnya Habib Zain melanjutkan perjalanannyadi Baidhah, Habib Zain
pun mendapat sambutan hangat dari sang tuan rumah Habib Muhammad
Al-Haddar, disanalah untuk pertama kali ia mengamalkan ilmunya lewat
mengajar. Habib Zain menetap lebih dari 20 tahun di Rubath Baidha’
menjadi khadam ilmu kepada para penuntutnya, beliau juga menjadi mufti
dalam Mazhab Syafi’i. Setelah itu beliau berpindah ke negeri Hijaz
selama 12 tahun, Habib Zain telah bersama-sama dengan Habib Salim
Assyatiri menguruskan Rubath di Madinah,Setelah itu Habib Salim telah
berpindah ke Tarim Hadhramaut untuk menguruskan Rubath Tarim. Habib Zain
di Madinah diterima dengan ramah, muridnya banyak dan terus bertambah,
dalam kesibukan mengajar dan usianya yang juga semakin meningkat,
keinginan untuk terus menuntut ilmu tidak pernah pudar. Beliau mendalami
ilmu Usul daripada Sheikh Zay dan Al-Syanqiti Al-Maliki. Habib Zain
terus menyibukkan diri menuntut dengan Al-Allamah Ahmad bin Muhammad
Hamid Al-Hasani dalam ilmu bahasa dan Ushuluddin. Habib Zain seorang
yang tinggi kurus, Lidahnya basah, tidak henti berzikrullah. Beliau
sentiasa menghidupkan malamnya. Di waktu pagi Habib Zain keluar
bersholat Subuh di Masjid Nabawi. Beliau beriktikaf di Masjid Nabawi
sehingga matahari terbit, setelah itu beliau menuju ke Rubath untuk
mengajar. Majlis Rauhah setelah asar hingga maghrib.
Senin, 05 Maret 2012
Biografi Al-Musnid Al-Allamah Al-Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidh
Beliau adalah al-Habib ‘Umar putera dari Muhammad putera
dari Salim putera dari Hafiz putera dari Abdullah putera dari Abi Bakar putera
dari ‘Aidarus putera dari Hussain putera dari Asy-Syaikh Abi Bakar putera dari
Salim putera dari ‘Abdullah putera dari Abdurrahman putera dari ‘Abdullah
putera dari Asy-Syaikh Abdurrahman Assegaf putera dari Muhammad Maula
al-Daweela putera dari ‘Ali putera dari ‘Alawi putera dari Al-Faqih Muqaddam
Muhammad putera dari ‘Ali putera dari Muhammad Shahib Mirbat putera dari ‘Ali
Khali‘ Qasam putera dari ‘Alawi putera dari Muhammad putera dari ‘Alawi putera
dari ‘Ubaidallah putera dari Imam Al-Muhajir Ahmad putera dari ‘Isa putera dari
Muhammad putera dari ‘Ali al-‘Uraidi putera dari Ja'far al-Shadiq putera dari
Muhammad Al-Baqir putera dari ‘Ali Zainal ‘Abidin putera dari Husain sang cucu
laki-laki, putera dari pasangan ‘Ali putera dari Abu Thalib dan Fatimah
al-Zahra puteri dari Rasul Muhammad s.a.w.
Beliau terlahir di Tarim, Hadramaut, salah satu kota tertua di Yaman yang menjadi sangat terkenal di seluruh dunia dengan berlimpahnya para ilmuwan dan para alim ulama yang dihasilkan kota ini selama berabad-abad. Beliau dibesarkan di dalam keluarga yang memiliki tradisi keilmuan Islam dan kejujuran moral dengan ayahnya yang adalah seorang pejuang martir yang terkenal, Sang Intelektual, Sang Da’i Besar, Muhammad bin Salim bin Hafiz bin Shaikh Abu Bakr bin Salim. Ayahnya adalah salah seorang ulama intelektual Islam yang mengabdikan hidup mereka demi penyebaran agama Islam dan pengajaran Hukum Suci serta aturan-aturan mulia dalam Islam. Beliau secara tragis diculik oleh kelompok komunis dan diperkirakan telah meninggal, semoga Allah mengampuni dosa-dosanya. Demikian pula kedua kakek beliau, al-Habib Salim bin Hafiz dan al-Habib Hafiz bin Abd-Allah yang merupakan para intelektual Islam yang sangat dihormati kaum ulama dan intelektual Muslim pada masanya. Allah seakan menyiapkan kondisi-kondisi yang sesuai bagi al-Habib ‘Umar dalam hal hubungannya dengan para intelektual muslim disekitarnya serta kemuliaan yang muncul dari keluarganya sendiri dan dari lingkungan serta masyarakat dimana ia dibesarkan.
Beliau telah mampu menghafal Al Qur’an pada usia yang sangat muda dan ia juga menghafal berbagai teks inti dalam fiqh, hadits, Bahasa Arab dan berbagai ilmu-ilmu keagamaan yang membuatnya termasuk dalam lingkaran keilmuan yang dipegang teguh oleh begitu banyaknya ulama-ulama tradisional seperti Muhammad bin ‘Alawi bin Shihab dan al-Shaikh Fadl Baa Fadl serta para ulama lain yang mengajar di Ribat, Tarim yang terkenal itu. Maka beliau pun mempelajari berbagai ilmu termasuk ilmu-ilmu spiritual keagamaan dari ayahnya yang meninggal syahid, Al-Habib Muhammad bin Salim, yang darinya didapatkan cinta dan perhatiannya yang mendalam pada da'wah dan bimbingan atau tuntunan keagamaan dengan cara Allah s.w.t. Ayahnya begitu memperhatikan sang ‘Umar kecil yang selalu berada di sisi ayahnya di dalam lingkaran ilmu dan dzikr.
Namun secara tragis, ketika al-Habib ‘Umar sedang menemani ayahnya untuk sholat Jum‘ah, ayahnya diculik oleh golongan komunis, dan sang ‘Umar kecil sendirian pulang ke rumahnya dengan masih membawa syal milik ayahnya, dan sejak saat itu ayahnya tidak pernah terlihat lagi. Ini menyebabkan ‘Umar muda menganggap bahwa tanggung jawab untuk meneruskan pekerjaan yang dilakukan ayahnya dalam bidang Da‘wah sama seperti seakan-akan syal sang ayah menjadi bendera yang diberikan padanya di masa kecil sebelum beliau mati syahid. Sejak itu, dengan sang bendera dikibarkannya tinggi-tinggi, ia memulai, secara bersemangat, perjalanan penuh perjuangan, mengumpulkan orang-orang, membentuk Majelis-majelis dan da’wah. Perjuangan dan usahanya yang keras demi melanjutkan pekerjaan ayahnya mulai membuahkan hasil. Kelas-kelas mulai dibuka bagi anak muda maupun orang tua di mesjid-mesjid setempat dimana ditawarkan berbagai kesempatan untuk menghafal Al Qur’an dan untuk belajar ilmu-ilmu tradisional.
Ia sesungguhnya telah benar-benar memahami Kitab Suci sehingga ia telah diberikan sesuatu yang khusus dari Allah meskipun usianya masih muda. Namun hal ini mulai mengakibatkan kekhawatiran akan keselamatannya dan akhirnya diputuskan beliau dikirim ke kota al-Bayda’ yang terletak di tempat yang disebut Yaman Utara yang menjadikannya jauh dari jangkauan mereka yang ingin mencelakai sang sayyid muda.
Disana dimulai babak penting baru dalam perkembangan beliau. Masuk sekolah Ribat di al-Bayda’ ia mulai belajar ilmu-ilmu tradisional dibawah bimbingan ahli dari yang Mulia al-Habib Muhammad bin ‘Abdullah Al-Haddar, semoga Allah mengampuninya, dan juga dibawah bimbingan ulama mazhab Syafi‘i Al-Habib Zain bin Sumait, semoga Allah melindunginya. Janji beliau terpenuhi ketika akhirnya ia ditunjuk sebagai seorang guru tak lama sesudahnya. Ia juga terus melanjutkan perjuangannya yang melelahkan dalam bidang Da‘wah.
Kali ini tempatnya adalah al-Bayda’ dan kota-kota serta desa-desa disekitarnya. Tiada satu pun yang terlewat dalam usahanya untuk mengenalkan kembali cinta kasih Allah dan Rasul-Nya s.a.w pada hati mereka seluruhnya. Kelas-kelas dan majelis didirikan, pengajaran dimulai dan orang-orang dibimbing. Usaha beliau yang demikian gigih menyebabkannya kekurangan tidur dan istirahat mulai menunjukkan hasil yang besar bagi mereka tersentuh dengan ajarannya, terutama para pemuda yang sebelumnya telah terjerumus dalam kehidupan yang kosong dan dangkal, namun kini telah mengalami perubahan mendalam hingga mereka sadar bahwa hidup memiliki tujuan, mereka bangga dengan indentitas baru mereka sebagai orang Islam, mengenakan sorban/selendang Islam dan mulai memusatkan perhatian mereka untuk meraih sifat-sifat luhur dan mulia dari Sang Rasul Pesuruh Allah s.a.w.
Sejak saat itu, sekelompok besar orang-orang yang telah dipengaruhi beliau mulai berkumpul mengelilingi beliau dan membantunya dalam perjuangan da‘wah maupun keteguhan beliau dalam mengajar di berbagai kota besar maupun kecil di Yaman Utara. Pada masa ini, beliau mulai mengunjungi banyak kota-kota maupun masyarakat diseluruh Yaman, mulai dari kota Ta'iz di utara, untuk belajar ilmu dari mufti Ta‘iz Al-Habib Ibrahim bin Aqil bin Yahya yang mulai menunjukkan pada beliau perhatian dan cinta yang besar sebagaimana ia mendapatkan perlakuan yang sama dari Shaikh Al-Habib Muhammad al-Haddar sehingga ia memberikan puterinya untuk dinikahi setelah menyaksikan bahwa dalam diri beliau terdapat sifat-sifat kejujuran dan kepintaran yang agung.
Tak lama setelah itu, beliau melakukan perjalanan melelahkan demi melakukan ibadah Haji di Mekkah dan untuk mengunjungi makam Rasul s.a.w di Madinah. Dalam perjalanannya ke Hijaz, beliau diberkahi kesempatan untuk mempelajari beberapa kitab dari para ulama terkenal disana, terutama dari Al-Habib 'Abdul Qadir bin Ahmad As-Saqqaf yang menyaksikan bahwa di dalam diri ‘Umar muda, terdapat semangat pemuda yang penuh cinta kepada Allah dan Rasul-Nya s.a.w dan sungguh-sungguh tenggelam dalam penyebaran ilmu dan keadilan terhadap sesama umat manusia sehingga beliau dicintai Al-Habib Abdul Qadir salah seorang guru besarnya. Begitu pula beliau diberkahi untuk menerima ilmu dan bimbingan dari kedua pilar keadilan di Hijaz, yakni Al-Habib Ahmad Mashur Al-Haddad dan Al-Habib 'Attas al-Habashi.
Sejak itulah nama Al-Habib Umar bin Hafiz mulai tersebar luas terutama dikarenakan kegigihan usaha beliau dalam menyerukan agama Islam dan memperbaharui ajaran-ajaran awal yang tradisional. Namun kepopuleran dan ketenaran yang besar ini tidak sedikitpun mengurangi usaha pengajaran beliau, bahkan sebaliknya, ini menjadikannya mendapatkan sumber tambahan dimana tujuan-tujuan mulia lainnya dapat dipertahankan. Tiada waktu yang terbuang sia-sia, setiap saat dipenuhi dengan mengingat Allah dalam berbagai manifestasinya, dan dalam berbagai situasi dan lokasi yang berbeda. Perhatiannya yang mendalam terhadap membangun keimanan terutama pada mereka yang berada didekatnya, telah menjadi salah satu dari perilaku beliau yang paling terlihat jelas sehingga membuat nama beliau tersebar luas bahkan hingga sampai ke Dunia Baru.
Negara Oman akan menjadi fase berikutnya dalam pergerakan menuju pembaharuan abad ke-15. Setelah menyambut baik undangan dari sekelompok Muslim yang memiliki hasrat dan keinginan menggebu untuk menerima manfaat dari ajarannya, beliau meninggalkan tanah kelahirannya dan tidak kembali hingga beberapa tahun kemudian. Bibit-bibit pengajaran dan kemuliaan juga ditanamkan di kota Shihr di Yaman timur, kota pertama yang disinggahinya ketika kembali ke Hadramaut, Yaman. Disana ajaran-ajaran beliau mulai tertanam dan diabadikan dengan pembangunan Ribat al-Mustafa. Ini merupakan titik balik utama dan dapat memberi tanda lebih dari satu jalan, dalam hal melengkapi aspek teoritis dari usaha ini dan menciptakan bukti-bukti kongkrit yang dapat mewakili pengajaran-pengajaran di masa depan.
Kepulangannya ke Tarim menjadi tanda sebuah perubahan mendasar dari tahun-tahun yang ia habiskan untuk belajar, mengajar, membangun mental agamis orang-orang disekelilingnya, menyebarkan seruan dan menyerukan yang benar serta melarang yang salah. Dar-al-Mustafa menjadi hadiah beliau bagi dunia, dan di pesantren itu pulalah dunia diserukan. Dalam waktu yang dapat dikatakan demikian singkat, penduduk Tarim akan menyaksikan berkumpulnya pada murid dari berbagai daerah yang jauh bersatu di satu kota yang hampir terlupakan ketika masih dikuasai para pembangkang komunis. Murid-murid dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Kepulauan Comoro, Tanzania, Kenya, Mesir, Inggris, Pakistan, Amerika Serikat dan Kanada, juga negara-negara Arab lain dan negara bagian di Arab akan diawasi secara langsung oleh Habib Umar. Mereka ini akan menjadi perwakilan dan penerus dari apa yang kini telah menjadi perjuangan asli demi memperbaharui ajaran Islam tradisional di abad ke-15 setelah hari kebangkitan. Berdirinya berbagai institusi Islami serupa di Yaman dan di negara-negara lain dibawah manajemen al-Habib Umar akan menjadi sebuah tonggak utama dalam penyebaran Ilmu dan perilaku mulia serta menyediakan kesempatan bagi orang-orang awam yang kesempatan tersebut dahulunya telah dirampas dari mereka.
Habib ‘Umar kini tinggal di Tarim, Yaman dimana beliau mengawasi perkembangan di Darul-Mustafa dan berbagai sekolah lain yang telah dibangun dibawah manajemen beliau. Beliau masih memegang peran aktif dalam penyebaran agama Islam, sedemikian aktifnya sehingga beliau meluangkan hampir sepanjang tahunnya mengunjungi berbagai negara di seluruh dunia demi melakukan kegiatan-kegiatan mulianya.
Beliau terlahir di Tarim, Hadramaut, salah satu kota tertua di Yaman yang menjadi sangat terkenal di seluruh dunia dengan berlimpahnya para ilmuwan dan para alim ulama yang dihasilkan kota ini selama berabad-abad. Beliau dibesarkan di dalam keluarga yang memiliki tradisi keilmuan Islam dan kejujuran moral dengan ayahnya yang adalah seorang pejuang martir yang terkenal, Sang Intelektual, Sang Da’i Besar, Muhammad bin Salim bin Hafiz bin Shaikh Abu Bakr bin Salim. Ayahnya adalah salah seorang ulama intelektual Islam yang mengabdikan hidup mereka demi penyebaran agama Islam dan pengajaran Hukum Suci serta aturan-aturan mulia dalam Islam. Beliau secara tragis diculik oleh kelompok komunis dan diperkirakan telah meninggal, semoga Allah mengampuni dosa-dosanya. Demikian pula kedua kakek beliau, al-Habib Salim bin Hafiz dan al-Habib Hafiz bin Abd-Allah yang merupakan para intelektual Islam yang sangat dihormati kaum ulama dan intelektual Muslim pada masanya. Allah seakan menyiapkan kondisi-kondisi yang sesuai bagi al-Habib ‘Umar dalam hal hubungannya dengan para intelektual muslim disekitarnya serta kemuliaan yang muncul dari keluarganya sendiri dan dari lingkungan serta masyarakat dimana ia dibesarkan.
Beliau telah mampu menghafal Al Qur’an pada usia yang sangat muda dan ia juga menghafal berbagai teks inti dalam fiqh, hadits, Bahasa Arab dan berbagai ilmu-ilmu keagamaan yang membuatnya termasuk dalam lingkaran keilmuan yang dipegang teguh oleh begitu banyaknya ulama-ulama tradisional seperti Muhammad bin ‘Alawi bin Shihab dan al-Shaikh Fadl Baa Fadl serta para ulama lain yang mengajar di Ribat, Tarim yang terkenal itu. Maka beliau pun mempelajari berbagai ilmu termasuk ilmu-ilmu spiritual keagamaan dari ayahnya yang meninggal syahid, Al-Habib Muhammad bin Salim, yang darinya didapatkan cinta dan perhatiannya yang mendalam pada da'wah dan bimbingan atau tuntunan keagamaan dengan cara Allah s.w.t. Ayahnya begitu memperhatikan sang ‘Umar kecil yang selalu berada di sisi ayahnya di dalam lingkaran ilmu dan dzikr.
Namun secara tragis, ketika al-Habib ‘Umar sedang menemani ayahnya untuk sholat Jum‘ah, ayahnya diculik oleh golongan komunis, dan sang ‘Umar kecil sendirian pulang ke rumahnya dengan masih membawa syal milik ayahnya, dan sejak saat itu ayahnya tidak pernah terlihat lagi. Ini menyebabkan ‘Umar muda menganggap bahwa tanggung jawab untuk meneruskan pekerjaan yang dilakukan ayahnya dalam bidang Da‘wah sama seperti seakan-akan syal sang ayah menjadi bendera yang diberikan padanya di masa kecil sebelum beliau mati syahid. Sejak itu, dengan sang bendera dikibarkannya tinggi-tinggi, ia memulai, secara bersemangat, perjalanan penuh perjuangan, mengumpulkan orang-orang, membentuk Majelis-majelis dan da’wah. Perjuangan dan usahanya yang keras demi melanjutkan pekerjaan ayahnya mulai membuahkan hasil. Kelas-kelas mulai dibuka bagi anak muda maupun orang tua di mesjid-mesjid setempat dimana ditawarkan berbagai kesempatan untuk menghafal Al Qur’an dan untuk belajar ilmu-ilmu tradisional.
Ia sesungguhnya telah benar-benar memahami Kitab Suci sehingga ia telah diberikan sesuatu yang khusus dari Allah meskipun usianya masih muda. Namun hal ini mulai mengakibatkan kekhawatiran akan keselamatannya dan akhirnya diputuskan beliau dikirim ke kota al-Bayda’ yang terletak di tempat yang disebut Yaman Utara yang menjadikannya jauh dari jangkauan mereka yang ingin mencelakai sang sayyid muda.
Disana dimulai babak penting baru dalam perkembangan beliau. Masuk sekolah Ribat di al-Bayda’ ia mulai belajar ilmu-ilmu tradisional dibawah bimbingan ahli dari yang Mulia al-Habib Muhammad bin ‘Abdullah Al-Haddar, semoga Allah mengampuninya, dan juga dibawah bimbingan ulama mazhab Syafi‘i Al-Habib Zain bin Sumait, semoga Allah melindunginya. Janji beliau terpenuhi ketika akhirnya ia ditunjuk sebagai seorang guru tak lama sesudahnya. Ia juga terus melanjutkan perjuangannya yang melelahkan dalam bidang Da‘wah.
Kali ini tempatnya adalah al-Bayda’ dan kota-kota serta desa-desa disekitarnya. Tiada satu pun yang terlewat dalam usahanya untuk mengenalkan kembali cinta kasih Allah dan Rasul-Nya s.a.w pada hati mereka seluruhnya. Kelas-kelas dan majelis didirikan, pengajaran dimulai dan orang-orang dibimbing. Usaha beliau yang demikian gigih menyebabkannya kekurangan tidur dan istirahat mulai menunjukkan hasil yang besar bagi mereka tersentuh dengan ajarannya, terutama para pemuda yang sebelumnya telah terjerumus dalam kehidupan yang kosong dan dangkal, namun kini telah mengalami perubahan mendalam hingga mereka sadar bahwa hidup memiliki tujuan, mereka bangga dengan indentitas baru mereka sebagai orang Islam, mengenakan sorban/selendang Islam dan mulai memusatkan perhatian mereka untuk meraih sifat-sifat luhur dan mulia dari Sang Rasul Pesuruh Allah s.a.w.
Sejak saat itu, sekelompok besar orang-orang yang telah dipengaruhi beliau mulai berkumpul mengelilingi beliau dan membantunya dalam perjuangan da‘wah maupun keteguhan beliau dalam mengajar di berbagai kota besar maupun kecil di Yaman Utara. Pada masa ini, beliau mulai mengunjungi banyak kota-kota maupun masyarakat diseluruh Yaman, mulai dari kota Ta'iz di utara, untuk belajar ilmu dari mufti Ta‘iz Al-Habib Ibrahim bin Aqil bin Yahya yang mulai menunjukkan pada beliau perhatian dan cinta yang besar sebagaimana ia mendapatkan perlakuan yang sama dari Shaikh Al-Habib Muhammad al-Haddar sehingga ia memberikan puterinya untuk dinikahi setelah menyaksikan bahwa dalam diri beliau terdapat sifat-sifat kejujuran dan kepintaran yang agung.
Tak lama setelah itu, beliau melakukan perjalanan melelahkan demi melakukan ibadah Haji di Mekkah dan untuk mengunjungi makam Rasul s.a.w di Madinah. Dalam perjalanannya ke Hijaz, beliau diberkahi kesempatan untuk mempelajari beberapa kitab dari para ulama terkenal disana, terutama dari Al-Habib 'Abdul Qadir bin Ahmad As-Saqqaf yang menyaksikan bahwa di dalam diri ‘Umar muda, terdapat semangat pemuda yang penuh cinta kepada Allah dan Rasul-Nya s.a.w dan sungguh-sungguh tenggelam dalam penyebaran ilmu dan keadilan terhadap sesama umat manusia sehingga beliau dicintai Al-Habib Abdul Qadir salah seorang guru besarnya. Begitu pula beliau diberkahi untuk menerima ilmu dan bimbingan dari kedua pilar keadilan di Hijaz, yakni Al-Habib Ahmad Mashur Al-Haddad dan Al-Habib 'Attas al-Habashi.
Sejak itulah nama Al-Habib Umar bin Hafiz mulai tersebar luas terutama dikarenakan kegigihan usaha beliau dalam menyerukan agama Islam dan memperbaharui ajaran-ajaran awal yang tradisional. Namun kepopuleran dan ketenaran yang besar ini tidak sedikitpun mengurangi usaha pengajaran beliau, bahkan sebaliknya, ini menjadikannya mendapatkan sumber tambahan dimana tujuan-tujuan mulia lainnya dapat dipertahankan. Tiada waktu yang terbuang sia-sia, setiap saat dipenuhi dengan mengingat Allah dalam berbagai manifestasinya, dan dalam berbagai situasi dan lokasi yang berbeda. Perhatiannya yang mendalam terhadap membangun keimanan terutama pada mereka yang berada didekatnya, telah menjadi salah satu dari perilaku beliau yang paling terlihat jelas sehingga membuat nama beliau tersebar luas bahkan hingga sampai ke Dunia Baru.
Negara Oman akan menjadi fase berikutnya dalam pergerakan menuju pembaharuan abad ke-15. Setelah menyambut baik undangan dari sekelompok Muslim yang memiliki hasrat dan keinginan menggebu untuk menerima manfaat dari ajarannya, beliau meninggalkan tanah kelahirannya dan tidak kembali hingga beberapa tahun kemudian. Bibit-bibit pengajaran dan kemuliaan juga ditanamkan di kota Shihr di Yaman timur, kota pertama yang disinggahinya ketika kembali ke Hadramaut, Yaman. Disana ajaran-ajaran beliau mulai tertanam dan diabadikan dengan pembangunan Ribat al-Mustafa. Ini merupakan titik balik utama dan dapat memberi tanda lebih dari satu jalan, dalam hal melengkapi aspek teoritis dari usaha ini dan menciptakan bukti-bukti kongkrit yang dapat mewakili pengajaran-pengajaran di masa depan.
Kepulangannya ke Tarim menjadi tanda sebuah perubahan mendasar dari tahun-tahun yang ia habiskan untuk belajar, mengajar, membangun mental agamis orang-orang disekelilingnya, menyebarkan seruan dan menyerukan yang benar serta melarang yang salah. Dar-al-Mustafa menjadi hadiah beliau bagi dunia, dan di pesantren itu pulalah dunia diserukan. Dalam waktu yang dapat dikatakan demikian singkat, penduduk Tarim akan menyaksikan berkumpulnya pada murid dari berbagai daerah yang jauh bersatu di satu kota yang hampir terlupakan ketika masih dikuasai para pembangkang komunis. Murid-murid dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Kepulauan Comoro, Tanzania, Kenya, Mesir, Inggris, Pakistan, Amerika Serikat dan Kanada, juga negara-negara Arab lain dan negara bagian di Arab akan diawasi secara langsung oleh Habib Umar. Mereka ini akan menjadi perwakilan dan penerus dari apa yang kini telah menjadi perjuangan asli demi memperbaharui ajaran Islam tradisional di abad ke-15 setelah hari kebangkitan. Berdirinya berbagai institusi Islami serupa di Yaman dan di negara-negara lain dibawah manajemen al-Habib Umar akan menjadi sebuah tonggak utama dalam penyebaran Ilmu dan perilaku mulia serta menyediakan kesempatan bagi orang-orang awam yang kesempatan tersebut dahulunya telah dirampas dari mereka.
Habib ‘Umar kini tinggal di Tarim, Yaman dimana beliau mengawasi perkembangan di Darul-Mustafa dan berbagai sekolah lain yang telah dibangun dibawah manajemen beliau. Beliau masih memegang peran aktif dalam penyebaran agama Islam, sedemikian aktifnya sehingga beliau meluangkan hampir sepanjang tahunnya mengunjungi berbagai negara di seluruh dunia demi melakukan kegiatan-kegiatan mulianya.
Senin, 27 Februari 2012
(FIQH) SHOLAT
Hadits 1
Sebagaimana yang diambil dari hadits Rasul saw yang diriwayatkan oleh Abu Hurairoh ra sengguhnya Rasullulah saw berkata : “Apabila engkau berdiri untuk melakukan shalat maka berwudhulah dengan sempurna, kemudian menghadap kiblat, kemudian engkau bertakbir kemudian bacalah yang termudah bagimu dari AlQur’an, kemudian engkau berukuk hingga tuma’ninah dalam berukuk kemudian angkatlah kepalamu sampai engkau meluruskan badanmu berdiri (I’tidal), kemudin bersujut hingga engkau bertuma’ninah dalam bersujut, kemudin angkat kepalamu (duduk antara 2 sujud) hingga engkau bertuma’ninah dalam dudukmu kemudian engkau sujud kedua kalinya hingga bertuma’ninah dalam sujut, kemudian lakukanlah seperti yang tadi diseluruh shalatmu” (HR. Imam Bukhari dan Muslim)
dalam Riwayat Muslim Rasullulah saw berkata : “Hingga engkau bertuma’ninah dalam berdirimu”
Hadits 2
Riwayat An Ibn Umar ra Rasulullah saw berkata : “ketika duduk untuk berTasyahud menaruh tangan kiri diatas lutut sebelah kiri dan tangan kanannya diatas lutut sebelah kanan, dan memajukan jari telunjuk, dalam Riwayat Muslim (mengumpulkan semua jarinya dan menunjuk dengan jari yang setelah jari jempol).
Hadits 3
Riwayat An Abi Mashud ra shabat Basyir bin Syaid “Kita diperintah untuk bershalat.. maka bagaimana kami bershalawat keatasmu, kemudian Rasul saw terdiam lalu Rasulullah saw menjawab “ katakanlah, Allahumma Shali’alla Muhammadin wa’alla ali Muhammad kama shalaita ala Ibrahimma…” sampai dengan akhir shalawat Ibrahimiyah. (HR. Muslim). (Ditambahkan oleh Ibn khuzaimah bagaimana kami bershalawat atasmu jika kami dalam shalat).
Hadits 4
Sabda Rasulullah saw “sesungguhnya Rasulullah saw menutup shalatnya dengan salam” (HR.Imam Bukhari dan Muslim) dan dari Wail bin Hujr ra “aku shalat bersama Rasul saw dan beliau salam awal sebelah kanan (Assalamu’alaikum warohmatullahhi wabarokatu) dan salam akhir sebelah kiri (Assalamu’alaikum warohmatullahhi wabarokatu)”.( HR. Abu daut dengan sanad sahih )
Rukun shalat ada 17
1. Niat,
sebagaimana hadits 1 diatas “Apabila engkau berdiri untuk melakukan shalat,,,” dan Hadits Rasul saw “sesungguhnya amal itu dengan niat”
2. Menghadap kiblat dan berdiri dalam shalat Fardhu,
dari susunan hadist 1 diatas bahwa hendaknya menghadap kiblat sebelum bertakbir (syarah dari Imam alwi abbas al Maliki kitab Ibanatul ahkam)
3. Bertakbir,
yaitu membuka shalat dalam takbirratul ikhram (pendapat terbanyak dari Imam Syafi’I, Imam Hambali dan Imam Maliki bahwa takbiratul ikhram wajib dengan lafdz ‘Allahhu Akbar’)
4. Membaca Alfatihah,
para ulama sepakat Imam Syafi’I, Imam Hambali dan Imam Maliki wajibnya membaca Alfatihah disetiap rakaatnya. sebagaimana Hadits Rasulullah saw : “ Tidak sempurna shalat seseorang bila tidak membaca biummil Qur’an (Al Fatihah)” (HR. Bukhari dan Muslim)
5. Rukuk,
diriwayatkan oleh sahabat Rasulullah saw Ubbayd assaa’idi ra berkata : “bahwasannya melihat Rasulullah saw jika bertakbir kedua tangannya sejajar dengan bahunya, jika berukuk kedua tangannnya memegang kedua lututnya, sampai dengan akhir…..” ( HR. Imam Bukhari dan Muslim)
6. Tuma’ninah dalam berrukuk,
sebagaimana hadits 1 diatas “…kemudian engkau berrukuk hingga tuma’ninah dalam berukuk…”
7. I’tidal,
sebagaimana hadits 1 diatas “… kemudian angkatlah kepalamu sampai engkau meluruskan badanmu berdiri (I’tidal)…”
8. Tuma’ninah dalam I’tidal,
sebagaimana hadits 1 diatas “…Hingga engkau bertuma’ninah dalam berdirimu…”
9. Sujud pertama dan Sujud kedua,
sebagaimana hadits 1 diatas “…kemudin bersujut hingga engkau bertuma’ninah dalam bersujut…” dan Hadits Rasulullah saw : “aku diperintah untuk bersujud dengan 7 anggota tubuh (atas dahi, kedua tangan, kedua lutut dan jari-jari kaki)” ( HR. Mutafaqul’alayh). Sabda Rasul saw : “Bahwa engkau sujud maka taruhlah kedua telapak tanganmu dan angkatlah kedua sikumu” (HR. Muslim)
10. Tuma’ninah dalam sujud pertama dan tuma’ninah dalam sujud kedua, sebagaimana hadits 1 diatas “…kemudin bersujud hingga engkau bertuma’ninah dalam bersujud…”
11. Duduk diantara dua sujud,
sebagaimana hadits 1 diatas “…kemudin angkat kepalamu (duduk antara 2 sujud) …”
12. Tuma'ninah diantara dua sujud,
sebagaimana hadits 1 diatas “…hingga engkau bertuma’ninah dalam dudukmu…”
13. Tasyahud akhir,
Riwayat Muslim dari Ibn Abbas berkata Rasul saw mengajari kami tasyahud “Attahiyatul mubaarakatus shalawatutthoybatulillah…” sampai dengan akhir.
14. Duduk diTasyahud akhir,
sebagaimana hadits 2 diatas “ ketika duduk untuk berTasyahud…”
15. Bershalawat kepada Rasul saw,
sebagaimana hadits 3 diatas “ Kita diperintah untuk bershalat.. maka bagaimana kami bershalawat keatasmu…”. Imam Syafi’I berpendapat bahwa beshalawat atas Rasul saw dan keluarganya dalam shalat adalah Wajib bagi kita, sebagaimana hadits 3 diatas.
16. Salam,
sebagaimana hadits 4 diatas “sesungguhnya Rasulullah saw menutup shalatnya dengan salam” (HR. Imam Bukhari dan Muslim). Sebagaimana hadits 4 maka para Imam beritifak bahwa salam awal wajib bagi seorang imam atau ma’mum atau sendiri dan salam kedua sunah, dan paling sedikitnya salam (Assalamu’alaikum) dikarnakan penduduk madinah melakukannya. (Kitab Ibbanatul Ahkam: Imam Alwi bin Abbas al maliki)
17. Tertib,
Sebagaimana urutan rukun – rukun hadits diatas.
Sebagaimana yang diambil dari hadits Rasul saw yang diriwayatkan oleh Abu Hurairoh ra sengguhnya Rasullulah saw berkata : “Apabila engkau berdiri untuk melakukan shalat maka berwudhulah dengan sempurna, kemudian menghadap kiblat, kemudian engkau bertakbir kemudian bacalah yang termudah bagimu dari AlQur’an, kemudian engkau berukuk hingga tuma’ninah dalam berukuk kemudian angkatlah kepalamu sampai engkau meluruskan badanmu berdiri (I’tidal), kemudin bersujut hingga engkau bertuma’ninah dalam bersujut, kemudin angkat kepalamu (duduk antara 2 sujud) hingga engkau bertuma’ninah dalam dudukmu kemudian engkau sujud kedua kalinya hingga bertuma’ninah dalam sujut, kemudian lakukanlah seperti yang tadi diseluruh shalatmu” (HR. Imam Bukhari dan Muslim)
dalam Riwayat Muslim Rasullulah saw berkata : “Hingga engkau bertuma’ninah dalam berdirimu”
Hadits 2
Riwayat An Ibn Umar ra Rasulullah saw berkata : “ketika duduk untuk berTasyahud menaruh tangan kiri diatas lutut sebelah kiri dan tangan kanannya diatas lutut sebelah kanan, dan memajukan jari telunjuk, dalam Riwayat Muslim (mengumpulkan semua jarinya dan menunjuk dengan jari yang setelah jari jempol).
Hadits 3
Riwayat An Abi Mashud ra shabat Basyir bin Syaid “Kita diperintah untuk bershalat.. maka bagaimana kami bershalawat keatasmu, kemudian Rasul saw terdiam lalu Rasulullah saw menjawab “ katakanlah, Allahumma Shali’alla Muhammadin wa’alla ali Muhammad kama shalaita ala Ibrahimma…” sampai dengan akhir shalawat Ibrahimiyah. (HR. Muslim). (Ditambahkan oleh Ibn khuzaimah bagaimana kami bershalawat atasmu jika kami dalam shalat).
Hadits 4
Sabda Rasulullah saw “sesungguhnya Rasulullah saw menutup shalatnya dengan salam” (HR.Imam Bukhari dan Muslim) dan dari Wail bin Hujr ra “aku shalat bersama Rasul saw dan beliau salam awal sebelah kanan (Assalamu’alaikum warohmatullahhi wabarokatu) dan salam akhir sebelah kiri (Assalamu’alaikum warohmatullahhi wabarokatu)”.( HR. Abu daut dengan sanad sahih )
Rukun shalat ada 17
1. Niat,
sebagaimana hadits 1 diatas “Apabila engkau berdiri untuk melakukan shalat,,,” dan Hadits Rasul saw “sesungguhnya amal itu dengan niat”
2. Menghadap kiblat dan berdiri dalam shalat Fardhu,
dari susunan hadist 1 diatas bahwa hendaknya menghadap kiblat sebelum bertakbir (syarah dari Imam alwi abbas al Maliki kitab Ibanatul ahkam)
3. Bertakbir,
yaitu membuka shalat dalam takbirratul ikhram (pendapat terbanyak dari Imam Syafi’I, Imam Hambali dan Imam Maliki bahwa takbiratul ikhram wajib dengan lafdz ‘Allahhu Akbar’)
4. Membaca Alfatihah,
para ulama sepakat Imam Syafi’I, Imam Hambali dan Imam Maliki wajibnya membaca Alfatihah disetiap rakaatnya. sebagaimana Hadits Rasulullah saw : “ Tidak sempurna shalat seseorang bila tidak membaca biummil Qur’an (Al Fatihah)” (HR. Bukhari dan Muslim)
5. Rukuk,
diriwayatkan oleh sahabat Rasulullah saw Ubbayd assaa’idi ra berkata : “bahwasannya melihat Rasulullah saw jika bertakbir kedua tangannya sejajar dengan bahunya, jika berukuk kedua tangannnya memegang kedua lututnya, sampai dengan akhir…..” ( HR. Imam Bukhari dan Muslim)
6. Tuma’ninah dalam berrukuk,
sebagaimana hadits 1 diatas “…kemudian engkau berrukuk hingga tuma’ninah dalam berukuk…”
7. I’tidal,
sebagaimana hadits 1 diatas “… kemudian angkatlah kepalamu sampai engkau meluruskan badanmu berdiri (I’tidal)…”
8. Tuma’ninah dalam I’tidal,
sebagaimana hadits 1 diatas “…Hingga engkau bertuma’ninah dalam berdirimu…”
9. Sujud pertama dan Sujud kedua,
sebagaimana hadits 1 diatas “…kemudin bersujut hingga engkau bertuma’ninah dalam bersujut…” dan Hadits Rasulullah saw : “aku diperintah untuk bersujud dengan 7 anggota tubuh (atas dahi, kedua tangan, kedua lutut dan jari-jari kaki)” ( HR. Mutafaqul’alayh). Sabda Rasul saw : “Bahwa engkau sujud maka taruhlah kedua telapak tanganmu dan angkatlah kedua sikumu” (HR. Muslim)
10. Tuma’ninah dalam sujud pertama dan tuma’ninah dalam sujud kedua, sebagaimana hadits 1 diatas “…kemudin bersujud hingga engkau bertuma’ninah dalam bersujud…”
11. Duduk diantara dua sujud,
sebagaimana hadits 1 diatas “…kemudin angkat kepalamu (duduk antara 2 sujud) …”
12. Tuma'ninah diantara dua sujud,
sebagaimana hadits 1 diatas “…hingga engkau bertuma’ninah dalam dudukmu…”
13. Tasyahud akhir,
Riwayat Muslim dari Ibn Abbas berkata Rasul saw mengajari kami tasyahud “Attahiyatul mubaarakatus shalawatutthoybatulillah…” sampai dengan akhir.
14. Duduk diTasyahud akhir,
sebagaimana hadits 2 diatas “ ketika duduk untuk berTasyahud…”
15. Bershalawat kepada Rasul saw,
sebagaimana hadits 3 diatas “ Kita diperintah untuk bershalat.. maka bagaimana kami bershalawat keatasmu…”. Imam Syafi’I berpendapat bahwa beshalawat atas Rasul saw dan keluarganya dalam shalat adalah Wajib bagi kita, sebagaimana hadits 3 diatas.
16. Salam,
sebagaimana hadits 4 diatas “sesungguhnya Rasulullah saw menutup shalatnya dengan salam” (HR. Imam Bukhari dan Muslim). Sebagaimana hadits 4 maka para Imam beritifak bahwa salam awal wajib bagi seorang imam atau ma’mum atau sendiri dan salam kedua sunah, dan paling sedikitnya salam (Assalamu’alaikum) dikarnakan penduduk madinah melakukannya. (Kitab Ibbanatul Ahkam: Imam Alwi bin Abbas al maliki)
17. Tertib,
Sebagaimana urutan rukun – rukun hadits diatas.
(FIQH) Thaharah [bersuci]
NAJIS....
Najis dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu:
1). najis mukhaffafah yaitu najis ringan, dari air seni bayi yg belum makan minum selain asi. Cara membersihkannya cukup dengan diciprati air.
2). najis mutawassithah, najis pertengahan, harus bersih seluruhnya dg membasuhkan air sebanyak banyaknya hingga 3 sifatnya hilang (baunya, warnanya, dan rasanya).
3). najis mughaladhah najis berat, yaitu dari anjing dan babi, jika bersentuhan dalam keadaaan salah satu dari kita (dengan keadaan basah), pembersihannya dengan mencucinya6x dg air setelah dibersihkan dulu dari 3 sifatnya, setelah tiga sifatnya bersih, baru diguyur 7x dg air lumpur (dicampur dng tanah).
Hal-hal mengenai najis:
Hal-hal yang wajib didalam wudhu:
1. niat saat membasuh muka yaitu mulai dari ujung pipi yg tersambung pd telinga kiri dan kanan, dan mulai ujung dahi atas tempat awal tumbuhnya rambut sampai bawah dagu. wajibnya adalah 1x, sunnahnya 3x.
2. membasuh tangan kanan lalu kiri dari ujung jari hingga siku, sunnahnya dilebihkan sedikit diatas siku 1x sunnahnya 3x
3. membasuh kepala 1x walau hanya beberapa helai rambut, sunnahnya seluruh rambut.
4. membasuh kedua kaki mulai mata kaki hingga ujung kaki.1x sunnahnya 3x.
5. tertib, yaitu mengikuti aturannya dan jangan mendahlukan suatu anggota tubuh kecuali menurut urutan diatas.
Sunah-sunah didalam wudhu:
1. bersentuhan antara kulit pria dan wanita dewasa tanpa penghalang berupa kain/lainnya.
2. tidur atau pingsan atau hilang kesadaran
3. keluarnya sesuatu dari Qubul atau dubur selain air mani,
4. menyentuh Qubul atau dubur manusia dengan telapak tangan tanpa penghalang/kain.
bersentuhan dengan istri membatalkan wudhu, demikian dalam madzhab syafii, jika memang dikehendaki dan mesti bersalaman maka baiknya kita memakai kaus tangan tipis.
Hal-hal lain mengenai wudhu:
1) berbicara saat wudhu tidak membatalkan wudhu, namun Imam Ghazali mengatakan hal itu makruh, namun tentunya tak membatalkan wudhu.
2) membuka aurat saat wudhu tidak membatalkan wudhu, namun merupakan hal yg makruh.
3) rambut istri dan semua wanita yg muhrim dan non muhrim jika disentuh tidak membatalkan wudhu.
4) sunnah membasuh leher saat wudhu, demikian dijelaskan oleh Hujjatul Islam al Imam Ghazali dalam bidayatul hidayah.
5) Muhrim adalah yg kita boleh berjumpa bebas dengannya tanpa perlu jilbab atau pakaian tertutup, boleh jumpa misalnya dengan celana pendek, atau pakaian bebas lainnya, dan bila bersentuhan tak batal wudhu, dan haram menikah dengan mereka.
yaitu wanita yg muhrim adalah :
dari keluarga darah daging sendiri
1. Ibu
2. nenek (ibu dari ibu dan ibu dari ayah) seterusnya
3. putri kandung
4. cucu (putri anak lelaki atau putri anak perempuan) dst.
5. saudara kandung
6. saudara perempuan (saudari kandung, saudari seayah dan saudari seibu)
7. bibi (saudari ayah atau saudari ibu)
8. keponakan (putri dari saudara lelaki dan putri dari saudara perempuan)
dari periparan
1. mertua (ibu dari istri)
2. putri dari istri
3. menantu (istri dari putra)
4. Istri dari ayah (ibu tiri)
dari persusuan
1. wanita yg disusui istri (anak suson)
2. saudari sepersusuan (wanita yg menyusui dari wnaita yg menyusui kita)
3. ibu suson (wanita yg menyusui kita)
4. wanita yg menyusui istri kita dimasa kecil (mertua suson)
Najis dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu:
1). najis mukhaffafah yaitu najis ringan, dari air seni bayi yg belum makan minum selain asi. Cara membersihkannya cukup dengan diciprati air.
2). najis mutawassithah, najis pertengahan, harus bersih seluruhnya dg membasuhkan air sebanyak banyaknya hingga 3 sifatnya hilang (baunya, warnanya, dan rasanya).
3). najis mughaladhah najis berat, yaitu dari anjing dan babi, jika bersentuhan dalam keadaaan salah satu dari kita (dengan keadaan basah), pembersihannya dengan mencucinya6x dg air setelah dibersihkan dulu dari 3 sifatnya, setelah tiga sifatnya bersih, baru diguyur 7x dg air lumpur (dicampur dng tanah).
Hal-hal mengenai najis:
- Najis yg ragu tidak dihukumi najis, najis hanya berlaku jika yakin dan ada 3 sifatnya (bau, rasa, dan warna) jika salah satu sifat itu ada maka itu bukti bahwa terkena najis,selama kita tdk yakin bahwa najis mengenai kita maka hukumnya suci.
- Najis hanya menajiskan bagian tubuh/bagian pakaian yg tersentuh najis, tidak mejadikan seluruh tubuh najis, dan najis tidak membatalkan wudhu, (contoh: anda dalam keadaan suci atau selepas berwudhu, kaki masih basah, lalu tersentuh anjing, maka anda membasuhnya 7x dg air lumpur/air yg bercampur tanah hanya pada tempat yg tersentuh, dan anda tidak perlu mengulangi wudhu karena najis yg menyentuh tubuh tidak membatalkan wudhu).
- Ingus atau air liur bukan merupakan najis (jika bercampur dengan darah maka najis hukumnya). Cairan yang keluar dari dalam lambung (jika muntah atau cairan muntah yg tak jadi) atau keluar cairan pahit dari lambung itu najis hukumnya.
- Semua yg terpisah dari tubuh hewan yg bukan hewan yg halal dimakan, maka hukumnya najis (Contoh: Bulu Kucing yg sudah berserakan/terlepas dari tubuhnya maka hukumnya Najis, namun dimaafkan jika bulu tersebut sedikit,,,maka jika kita suka pada kucing baiknya tempat tempat shalat terjaga dari sentuhan kucing, misalnya sajadah, mukena, dll.
- Air suci dan mensucikan/Mutlaq (contohnya: Air yang keluar dari Bumi seperti: Air Sumur , Air Laut , Air Sungai dan Mata Air. dan air yang turun dari langit seperti: Air hujan , Air embun , dan Air salju yang mencair.)
- Air suci tapi tidak mensucikan (contohnya: kopi,susu,teh dll....Dikatakan air suci tapi tidak mensucikan karena Airnya telah berubah salah satu sifatnya karena bercampur dengan suatu benda yang suci , walaupun zat-nya itu sendiri suci namun tidak sah lagi untuk bersuci)
- Air Makruh (air yang didapat dari hasil mencuri)
- Air Mutanajis (Air mutanajjis adalah air mutlak yang bersentuhan dengan benda-benda najis seperti, kotoran, kencing, darah dan lain-lain sehingga tidak suci dan menyucikan. Air mutlak yang sedikit ketika bersentuhan dengan benda najis, maka berubah menjadi mutanajjis, sekalipun tidak berubah salah satu sifatnya, yakni warna, bau dan rasanya. Sedangkan air mutlak yang banyak akan berubah menjadi mutanajjis jika bersentuhan dengan benda najis dan berubah salah satu sifatnya (baunya, rasanya, atau warnanya). Demikian pula air mutlak lainnya (air yang mengalir, sumber air, air sumur dan air hujan) akan menjadi mutanajjis jika bersentuhan dengan benda najis dan berubah salah satu sifatnya.
Hal-hal yang wajib didalam wudhu:
1. niat saat membasuh muka yaitu mulai dari ujung pipi yg tersambung pd telinga kiri dan kanan, dan mulai ujung dahi atas tempat awal tumbuhnya rambut sampai bawah dagu. wajibnya adalah 1x, sunnahnya 3x.
2. membasuh tangan kanan lalu kiri dari ujung jari hingga siku, sunnahnya dilebihkan sedikit diatas siku 1x sunnahnya 3x
3. membasuh kepala 1x walau hanya beberapa helai rambut, sunnahnya seluruh rambut.
4. membasuh kedua kaki mulai mata kaki hingga ujung kaki.1x sunnahnya 3x.
5. tertib, yaitu mengikuti aturannya dan jangan mendahlukan suatu anggota tubuh kecuali menurut urutan diatas.
Sunah-sunah didalam wudhu:
- Bersiwak
- Basmalah
- Mendahulukan yang kanan
- Kumur
- Memasukan air ke dalam hidung
- Mengeluarkan air dari dalam hidung
- Membasuh seluruh rambut
- Menggosok / Menyela
- Setiap bagian 3 kali
- Membaca Do’a wudhu
1. bersentuhan antara kulit pria dan wanita dewasa tanpa penghalang berupa kain/lainnya.
2. tidur atau pingsan atau hilang kesadaran
3. keluarnya sesuatu dari Qubul atau dubur selain air mani,
4. menyentuh Qubul atau dubur manusia dengan telapak tangan tanpa penghalang/kain.
bersentuhan dengan istri membatalkan wudhu, demikian dalam madzhab syafii, jika memang dikehendaki dan mesti bersalaman maka baiknya kita memakai kaus tangan tipis.
Hal-hal lain mengenai wudhu:
1) berbicara saat wudhu tidak membatalkan wudhu, namun Imam Ghazali mengatakan hal itu makruh, namun tentunya tak membatalkan wudhu.
2) membuka aurat saat wudhu tidak membatalkan wudhu, namun merupakan hal yg makruh.
3) rambut istri dan semua wanita yg muhrim dan non muhrim jika disentuh tidak membatalkan wudhu.
4) sunnah membasuh leher saat wudhu, demikian dijelaskan oleh Hujjatul Islam al Imam Ghazali dalam bidayatul hidayah.
5) Muhrim adalah yg kita boleh berjumpa bebas dengannya tanpa perlu jilbab atau pakaian tertutup, boleh jumpa misalnya dengan celana pendek, atau pakaian bebas lainnya, dan bila bersentuhan tak batal wudhu, dan haram menikah dengan mereka.
yaitu wanita yg muhrim adalah :
dari keluarga darah daging sendiri
1. Ibu
2. nenek (ibu dari ibu dan ibu dari ayah) seterusnya
3. putri kandung
4. cucu (putri anak lelaki atau putri anak perempuan) dst.
5. saudara kandung
6. saudara perempuan (saudari kandung, saudari seayah dan saudari seibu)
7. bibi (saudari ayah atau saudari ibu)
8. keponakan (putri dari saudara lelaki dan putri dari saudara perempuan)
dari periparan
1. mertua (ibu dari istri)
2. putri dari istri
3. menantu (istri dari putra)
4. Istri dari ayah (ibu tiri)
dari persusuan
1. wanita yg disusui istri (anak suson)
2. saudari sepersusuan (wanita yg menyusui dari wnaita yg menyusui kita)
3. ibu suson (wanita yg menyusui kita)
4. wanita yg menyusui istri kita dimasa kecil (mertua suson)
Minggu, 26 Februari 2012
Al-Imam Al-Qutub Al-Habib Husain bin Abu Bakar Alaydrus
Al-imam
Husein Bin Abu Bakar Alaydrus memiliki silsilah yang sampai kepada
Baginda Rasulullah SAW, di mana silsilah beliau yaitu: Al-imam Husein
Bin Abu Bakar Bin Abdullah Bin Husein Bin Ali Bin Muhammad Bin Ahmad Bin
Husein Ibnil Imam Syamsi Syumus Abdullah Alaydrus Akbar. Beliau
dilahirkan di sebuah desa yang bernama Ma’ibad, Hadralmaut Yaman
Selatan, dan pada usianya yang ke 11 tahun, beliau ditinggal wafat oleh
ayahnya.
Selepas
mangkatnya ayahnya, Al-imam Husein Bin Abu Bakar Alaydrus hijrah ke
kota Tarim, dan ternyata di pintu kota Tarim telah menunggu seorang wali
besar, yaitu Quthbil Irsyad, Al-imam Abdullah Bin Alwy Alhaddad, yang
langsung menyambut kedatangan dari Al-imam Husein Bin Abu Bakar
Alaydrus. Setelah tiba di kota Tarim, beliau didampingi oleh Al-imam
Abdullah Bin Alwy Alhaddad langsung berziarah kepada Sayyidina Faqih
Muqaddam Al’imam Muhammad Bin Ali Ba’alawy, Sayyidina Abdurrahman Bin
Muhammad Assegaf dan Datuk Beliau Sayyidina Abdullah Alaydrus Akbar.
Al-imam Abdullah Bin Alwy Alhaddad mengatakan kepada beliau bahwa
semalam kakekmu, Sayyidina Abdullah Alaydrus Akbar datang kepadaku dan
mengabarkan tentang kedatanganmu wahai Husein.
Al-imam
Husein Bin Abu Bakar Alaydrus menimba ilmu kepada Quthbil Irsyad,
Al-imam Abdullah Bin Alwy Alhaddad, dan menurut cukilan dari Alhabib Ali
Bin Husein Alattas dalam kitabnya Taajul A’rasy mengatakan bahwa
Al-imam Husein Bin Abu Bakar Alaydrus sebelum hijrah ke Indonesia,
beliau telah mendapatkan mandat kepercayaan dari guru beliau Al-imam
Abdullah Bin Alwy Alhaddad untuk melaksanakan da’watul islam.
Al-imam
Husein Bin Abu Bakar Alaydrus kemudian hijrah ke Asia Timur dan sampai
di Indonesia, lalu setibanya di pulau Jawa, tepatnya di Pelabuhan Sunda
Kelapa, beliau diusir kembali oleh penjajah Belanda. Akhirnya dengan
bantuan para Muhibbin di malam hari dengan menggunakan sekoci beliau
tiba kembali di Pelabuhan Sunda Kelapa. Beliau kemudian berda’wah di
tanah Batavia ini dan pada saat itu penjajah Belanda sangat sensitif
kepada para ulama karena di Sunda Kelapa ini masih ada bekas-bekas
pertempuran Sunda Kelapa yang berada di bawah pimpinan dari Sunan Gunung
Jati Al-imam Syarif Hidayatullah dan Fatahillah, sehingga penjagaannya
sangat ketat dan berakibat pada dicurigainya Al-Habib Husein Bin Abu
Bakar Alaydrus sebagai pemberontak, akhirnya beliau dimasukkan ke dalam
penjara, yang berada di sekitar Glodok.
Perjuangan
da’wah Al-imam Husein Bin Abu Bakar Alaydrus sangatlah luar biasa, dan
salah satu karomah beliau adalah di pagi hari beliau berada di dalam
penjara sementara anehnya menjelang maghrib beliau sudah tidak ada di
dalam penjara, beliau menyampaikan da’wah-da’wahnya di musholla dan
masjid-masjid, sehingga membuat takut para sipir penjara dan akhirnya
kepala sipir penjara tersebut meminta agar Habib Husein keluar saja dari
dalam penjara tapi beliau menolaknya sampai akhirnya beliau keluar dari
penjara dengan keinginannya sendiri.
Pada
suatu ketika di dalam perjalanan da’wahnya, Al-imam Husein Bin Abu
Bakar Alaydrus melihat seorang tentara Belanda yang memang memiliki
akhlak yang baik terhadap beliau, di mana tentara Belanda ini selalu
menegur dan ramah terhadap Beliau. Akhirnya Habib Husein memanggilnya
dan mengatakan bahwa tentara Belanda tersebut kelak akan menjadi
Gubernur, di Batavia. tentara Belanda tersebut berkata sambil tertawa
“mana mungkin aku menjadi seorang Gubernur”. Selang beberapa bulan
kemudian sang tentara Belanda tersebut dipanggil ke negerinya dan
kembali ke Batavia untuk dipercaya menjadi Gubernur.
Sang
tentara Belanda yang kini telah menjadi Gubernur teringat akan Habib
Husein dan menemui beliau seraya ta’jub atas perkataan dari Habib Husein
dan sebagai balasannya Tentara ini memberikan hadiah berupa uang,
bahkan emas, tetapi semuanya ditolak oleh Habib Husein. Karena Gubernur
tersebut memaksa, Akhirnya Al-habib Husein Bin Abu Bakar Alaydrus
berkata bahwa jika Engkau ingin memberiku hadiah, maka berikanlah aku
tanah yang berada di luar pelabuhan Sunda Kelapa yang saat itu sedang
surut. Tentara belanda tersebut kaget dan berkata percuma bila Aku
berikan tanah tersebut, sebentar lagi air akan naik dan daratan itu akan
terendam air laut. Al-habib Husein berkata “bila Engkau berikan
sekarang, maka mulai saat ini air tidak akan pernah pasang bahkan hingga
yaumil qiyamah”.. Allahu Akbar.. sehingga akhirnya diberikanlah tanah
tersebut.
Al-habib
Husein Bin Abu Bakar Alaydrus memiliki tanah ± 10 hektar dan di atas
tanah tersebut, kemudian pertama kali yang dibangun oleh Al-imam Husein
Bin Abu Bakar Alaydrus adalah Masjid, kemudian rumah beliau yang saat
ini menjadi tempat pusaranya beliau. Dan semenjak itu, dipatok
tanah-tanah tersebut yang besarnya ± sampai 10 hektar dengan pilar dan
batang-batang sehingga daerah ini dikenal dengan sebutan “Luar Batang”, disebabkan diluar pelabuhan Sunda Kelapa muncullah batang-batang. Di
sini beliau bersama salah satu muridnya Haji Abdul Qodir yang merupakan
penterjemahnya mengajarkan kepada murid-muridnya yang dating dari
Banten, Indramayu, Cirebon, Tuban Gresik dan pelosok-pelosok kota lain
di Indonesia.
Al-imam
Husein Bin Abu Bakar Alaydrus Wafat pada Malam 17 Ramadhan, akan tetapi
mengapa acara haul dari beliau diperingati setiap hari Ahad di akhir
bulan Syawwal?
Karena
ini merupakan ijtima’ dari para ulama dan habaib yang saat itu berada
di bawah pimpinan Mufti Betawi yaitu Alhabib Utsman Bin Abdullah Bin
Yahya. Di mana para penjajah saat itu masih menguasai dan transportasi
yang sangat sulit sekali serta bertepatan dengan keadaan orang-orang
yang sedang berpuasa, sehingga diputuskanlah oleh para ulama dan habaib
agar pelaksanaan Haul Al-imam Husein Bin Abu Bakar Alaydrus diadakan
pada akhir Ahad bulan Syawwal, di mana setelah orang-orang melaksanakan
silaturrahim lebaranan barulah kembali berkumpul dan bersilaturrahim di
pusara beliau untuk memperingati Haulnya Al-imam Husein Bin Abu Bakar
Alaydrus.
Inilah
sekelumit tentang perjalanan dan perjuangan dari Al-imam Husein Bin Abu
Bakar Alaydrus. Semoga Allah semakin mengangkat derajat beliau dan
semoga kita semua mendapatkan curahan keberkahan, rahasia-rahasia dan
ilmu serta karomah dari Al-imam Husein Bin Abu Bakar Alaydrus.. Amin Ya
Robbal Alamin.
Langganan:
Postingan (Atom)